Timnas Indonesia?

Dahulu, saya tidak begitu menyukai permainan Timnas Indonesia. Bukan karena tidak cinta dengan Timnas sendiri, tapi saya tidak suka dengan cara Timnas bermain. “Bola entah dimana, yang diambil malah kaki lawan. Teman ada dimana, bola malah diberikan kepada lawan. Postur badan kita kecil, bola malah selalu dimainkan dengan umpan jauh yang tidak terarah” (itu sangat dulu saat kumis yang ada diatas bibir belum dicukur tiap 2 minggu sekali, haha)

Selama 10 tahun menonton Timnas bertanding anggap saja dari tahun 2000-2010, pemain Indonesia yang bermain untuk Timnas saya bisa hapal, karena memang pemain-pemainnya itu saja. Didepan pasti ada Bambang Pamungkas, tengah selalu diisi Syamsul dan Ponaryo. Lantas saya dan anda waktu itu berteriak “Bosan! Ga ada regenerasi! Pemain Indonesia udah tua-tua! Mainnya gini mulu!”

Lantas sekitar tahun 2009-2011 muncul wajah-wajah baru pengisi barisan pemain Timnas. Sebut saja Boaz, Firman Utina, Eka Ramdani, Zulkifli hingga Irfan Bachdim. Pelatih-pelatih berpengalaman mulai datang untuk melatih Timnas, sebut saja Peter White hingga Alfred Riedl. Permainan mereka mulai ada peningkatan, kedisiplinan yang diterapkan pelatih mulai berjalan baik, kita mulai bermain dari kaki Playmaker yang biasanya kita lakukan dengan umpan jauh dari bek tengah. Operan-operan pendek, buka ruang dan semangat pantang menyerah anak muda pemain Timnas menghiasi pemandangan ditiap pertandingan Timnas. Saya yang biasa hanya menonton di Telivisi sampai menonton langsung di stadion GBK karena ikut terbawa euforia kebangkitan Timnas. Tapi tiba-tiba?

Kasus KORUPSI melanda PSSI, ketidak-transparan hasil penjualan tiket hingga dualisme liga Indonesia silih berganti menghiasi berita-berita terkait Sepakbola dan Timnas Indonesia. Puncak dari rasa kekecewaan saya adalah saat pemecatan Alfred Riedl dan Kongres Anak Kecil yang menyatakan diri mereka sebagai penyelamat sepakbola Indonesia (ternyata penyelamat beberapa oknum yang memiliki keinginan terhadap kekuasaan di PSSI dan hanya bisa berkelahi satu sama lain).

“Jika Anda-anda yang ada disana (PSSI) ingin menyelamatkan Sepakbola Indonesia. Tolong lah bekerja untuk kemajuan Bangsa ini, karena diakui atau tidak hanya Permainan Sepakbola Timnas hiburan bagi kami sebagai rakyat Indonesia (ya, karena dari kecil kami selalu bermain sepakbola di lapangan penuh lumpur dan bergawang sandal. Ini Olahraga Rakyat!), hanya itu pemicu semangat kami ditengah permasalahan Bangsa yang semakin hari malah semakin bertambah”  Rakyat Indonesia

“Bung, INI INDONESIA! Bendera kita merah-putih. Jika Bung benar-benar ingin memajukan Sepakbola Bangsa ini, bekerjalah hanya untuk merah-putih dan seluruh rakyatnya. Bukan untuk warna Biru, Kuning, hanya Merah atau lainnya.”  Rakyat Indonesia

Kekesalan saya ini cukup mendasar dan mungkin dirasakan juga oleh rakyat Indonesia yang lain. Beberapa pertandingan terakhir, saya sedih melihat Timnas. Timnas bukan ajang coba-coba pemain dan pelatih! 3 pertandingan 3 pelatih berbeda? 3 pertandingan 30 pemain berbeda? Kalau mau coba-coba dan asal main lakukan di Kompetisi Domestik, buat Kompetisi yang benar. Duduklah kalian dua kubu yang berseteru itu. Karena Timnas harus dibangun dengan Konsep dan Pembinaan yang berkelanjutan. Anda minta kami bersabar? 10 tahun? 20 tahun? Kami bisa terima, asal kan pembinaan itu benar-benar dilakukan dengan cara yang benar. Kalau pertandingan akhir-akhir ini Anda bilang untuk menambah pengalaman pemain muda, mengapa pemain muda selalu berubah-ubah dalam 3 pertandingan? Seleksi? Ini pertandingan Internasional biarpun hanya sekedar pertandingan persahabatan, Kompetisi Internasional, MAKSIMAL. Memberi pengalaman bagi pemain muda? Lantas apa kabar dengan pemain-pemain muda kita yang menimba ilmu di Uruguay? Vise? Jika ingin memberikan pengalaman pemain muda, berikan mereka pengalaman sebagai pemain Timnas di negeri mereka sendiri, kalah tidak apa-apa. Karena itu lah pembinaan yang sebenarnya, mereka sudah cukup lama bermain bersama sebagai satu tim, berikan mereka kesempatan untuk bermain bersama pula tapi menggunakan seragam Timnas Indonesia.

Hanya sekedar Tulisan yang berasal dari hati seorang yang sangat kecewa dengan sistem di tubuh asosiasi sepakbola Indonesia.
Kukuh Prakoso.

Terima kasih Bapak Alfred Riedl

Lama juga udah ga posting di blog ini 🙂

Sudah dari pagi sebenarnya pingin menulisnya, tapi selalu gagal karena bolak-balik ke kasur pegang buku (besok uts). Tapi pusing juga lama-lama memendam perasaan jengkel ini. Mungkin sudah banyak yang dengar berita bahwa beberapa hari setelah Ketum PSSI yang baru menjabat, dia mengeluarkan keputusan yang bisa dibilang sangat heboh, aneh, atau mungkin kata yang tepat TIDAK DAPAT DIMENGERTI.

Beliau mengambil keputusan untuk mencopot pelatih TIMNAS SENIOR yang berhasil membawa Indonesia bermain di partai final Piala AFF. Mengapa saya bilang keputusan tersebut TIDAK DAPAT DIMENGERTI? Belum hilang dari ingatan saya di Piala AFF kemarin, sekumpulan anak muda pilihan Alfred Riedl berhasil membuat kita semua tersenyum, lompat-lompat, bahkan dengan lantang dan tidak kenal lelah menyanyikan lagu Garuda Didadaku. (saat ini saya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala) saya ingat Piala AFF kemarin saya sempat terjatuh dari motor bersama teman saya beberapa jam setelah membeli tiket pertandingan Indonesia melawan Filiphina. Baru kali ini saya sangat bersemangat menonton TIMNAS saat berlaga di GBK secara langsung, tidak hanya sekali saya menonton TIMNAS secara langsung bahkan dua kali dengan partai final. Saya tahu, antrian di GBK pasti sangat panjang, saya tahu perjalanan saya dari Bogor menuju GBK tidak dapat dikatakan dekat, saya tahu bahwa TIMNAS bisa saja kalah, saya pun tahu bisa saja saya mengalami kecelakan karena mengantuk disaat pulang menuju Bogor di malam hari. Tapi semua pikiran itu saya buang jauh-jauh demi melihat pertandingan TIMNAS yang diasuh oleh Bapak Alfred Riedl. Semangat mereka bertanding, aliran bola yang diberikan Firman, tarian indah dari Okto, Irfan dan Ridwan, berlari menyisir sayap yang dilakukan oleh Nasuha dan Zulkifli, dinginnya Gonzales. Semua itu membuat saya bersemangat dan tak kenal lelah untuk mendukung mereka.

Baru hari Minggu kemarin sebenarnya saya tersenyum dan yakin bahwa TIMNAS akan bisa berbicara melawan Turmenistan di pertandingan pra piala dunia nanti. Ya..saya melihat nama Boaz diantara nama-nama yang dibawa Bapak Alfred Riedl, itu membuat saya semakin bersemangat menebak gaya permainan apa yang akan dilakukan oleh TIMNAS setelah Boaz masuk. Tapi tiba-tiba beberapa hari setelah pengumuman itu, kabar mengejutkan datang, Bapak Alfred Riedl dicopot dari jabatannya sebagai pelatih TIMNAS. Saya benar-benar terkejut dan tidak habis pikir. Ini terlalu mendadak dan terlalu dekat dengan pertandingan melawan Turmenistan di kandang mereka. Media cetak, elektonik hingga radio mengabarkan berita ini, semua menerka-nerka apa yang dipikirkan oleh Ketum PSSI kita yang baru. Jika memang permasalahannya ada di administrasi, mengapa tidak menunggu setelah TIMNAS menjalani dua laga melawan Turmenistan lalu secara baik-baik memecatnya dan jika memang Bapak Alfred Riedl melatih dengan baik, PSSI yang baru bisa mengontraknya lagi dengan kontak yang lebih jelas. Mengganti pelatih bukan sebuah kebijakan yang bisa diambil begitu saja. Butuh waktu lagi bagi para pemain untuk beradaptasi dengan gaya permainan yang diinginkan oleh pelatih baru, butuh waktu lagi bagi pelatih untuk mengetahui kemampuan tiap anggota timnya. Ini bukan seperti memecat pembantu dan dengan mudah menemukan pembantu yang baru. Ini seperti kehilangan seorang pacar dan membutuhkan waktu untuk menemukan seseorang yang bisa menggantikannya, butuh pendekatan, memahami satu sama lain hingga akhirnya cocok dan bisa berjalan bersama-sama.

Tapi ya apalah saya ini.

Saya hanya berharap pelatih TIMNAS yang baru dapat bekerja dengan maksimal dan semoga tidak ada tekanan bagi dia untuk mengembangkan permainan sesuai harapannya.

Terima kasih Bapak Alfred Riedl telah memberikan senyuman bagi kami selama menanganani TIMNAS. Terima kasih atas pelajaran tentang semangat pantang menyerah yang sangat baik bagi seluruh pemain TIMNAS, bahwa bermain diluar kandang boleh saja kita kalah, tapi tidak untuk di kandang. Mungkin saya akan merindukan sapaan dan lambaian tangan yang selalu Bapak berikan kepada suporter Indonesia disaat mengecek lapangan sebelum laga dimulai. Mungkin saya akan merindukan saat-saat dimana saya menertawakan Bapak, disaat semua offisial, suporter dan pemain merayakan gol tapi Bapak hanya diam terpaku bahkan terkadang tetap serius di pinggir lapangan.

Terima kasih Bapak Alfred Riedl, semoga anda tetap sukses dimanapun anda bekerja nantinya.